Jumat, 27 April 2012

KAPITALISASI DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN


KAPITALISASI DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
(Antara Kompetisi dan Keadilan)
Oleh: Umi Rosyidah/FO.340618
A. Pendahuluan
Sesuai dengan sifatnya yang tidak pernah berakhir dari sisi proses (never ending process), pendidikan itu mempunyai banyak faset untuk ditelaah. Pendidikan memang muncul dalam berbagai bentuk dan paham. Menurut Paulo Freire pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai kepada ketertinggalan.[1] Pada dasarnya pendidikan memang diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup.
Selain itu pendidikan banyak dipahami sebagai wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan ketrampilan kerja.[2] Sementara bagi paham lain, pendidikan lebih diyakini sebagai suatu media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, dan juga wahana untuk menciptakan keadilan sosial.
            Melihat begitu pentingnya makna dari pendidikan bagi umat manusia, maka banyak peradaban manusia yang “mewajibkan” masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlangsungan pendidikan. Sebagaimana peradaban kita sebagai umat Islam, yang selalu menanamkan kewajiban dalam menuntut ilmu, seperti “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri cina” atau “tuntutlah ilmu dari buaian ibu sampai liang lahat”, sebagaimana sebuah hadist yang berbunyi:
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim, baik laki-laki ataupun perempuan”.
            Begitupula dengan peradaban negara kita tercinta, Indonesia. Setiap tanggal 2 Mei di Seantero Nusantara, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional, semua ini tidak lain adalah untuk mempertahankan dan menjaga keberlangsungan pendidikan di Indonesia, dan juga seakan-akan negara kita ingin menegaskan bahwa pendidikan benar-benar modal buat membangun dan mengembangkan negeri ini.
            Tapi apa lacur, dan apa mau dikata, ternyata yang terlihat dilapangan sungguh berbeda, bahkan ironis. Kondisi dunia pendidikan kita amatlah memprihatinkan dan semakin jauh dari cita-cita yang idealnya, yaitu sebagai wahana pembebasan manusia dan memanusiakan manusia.
            Apalagi dewasa ini, kita tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan menguatnya paham pasar bebas, yang dikenal sebagai zaman globalisasi, maka tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena pendidikan sedang terancam dengan adanya sebagian manusia yang menyatakan bahwa dunia pendidikan dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapat keuntungan.
Sehingga di zaman globalisasi ini pendidikan pun mulai terkesan dengan “mahalnya biaya sekolah”. Dengan demikian pendidikan semakin tidak terjangkau bagi rakyat miskin bahkan mungkin menjadi momok (sesuatu yang ditakuti) untuk kalangan mereka dengan mahalnya dunia pendidikan.

B. Pembahasan

1. Pengertian Kapitalisme
            Secara etimologis, kapitalisme berasal dari bahasa latin “Caput” (kata benda) dan “Capitalis” (kata sifat) yang berarti “kepala” atau “yang berkaitan dengan kepala”. Dalam kaitan dengan kata ini, kapitalisme berarti usaha untuk mempertahankan kepala, kehidupan, dan kesejahteraan.[3] Secara terminologis, kapitalisme dipakai untuk menamai sistem ekonomi yang mendominasi dunia Barat sejak runtuhnya feodalisme.
            Sebagai sebuah sistem, kapitalisme terkait dengan hubungan antara pemilik pribadi atas alat produksi seperti tanah dan instalasi industri, yang secara keseluruhan disebut modal atau kapital dan para pekerja yang tidak mempunyai modal.
            Max Weber (1867-1920), peletak dasar sosiologi modern dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism mendefinisikan “kapitalisme sebagai hadirnya industri bagi kebutuhan kelompok manusia yang dilaksanakan dengan metode perusahaan yang dikelola secara rasional”,[4] seperti adanya neraca modal.  Weber menggunakan semangat kapitalisme untuk menggambarkan sikap mental yang selalu berusaha mencari keuntungan secara rasional dan sistematis.
            Kapitalisme sebagai sistem baru telah berkembang sejak zaman kuno, dan selalu mengalami masa kemajuan dan masa kemerosotan. Karena kapitalisme merupakan suatu sistem yang terus mengalami perkembangan dalam upaya eksistensi dirinya, kapitalisme mempunyai ciri-ciri yang berbeda-beda pada setiap zamannya. Secara umum ciri-ciri kapitalisme dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kapitalisme klasik dan kapitalisme modern.
            Nicholas Abercrombi (dosen sosiologi University of Lancaster) mengemukakan ciri-ciri kapitalisme dalam bentuknya yang murni sebagai berikut: 1. Pemilikan dan kontrol atas instrument produksi, 2. Kegiatan ekonomi diarahkan bagi pembentukan laba (profit), 3. Tersedianya sistem pasar yang mengatur semua kegiatan, 4. Perolehan laba oleh pemilik modal, dan 5. Penyediaan tenaga kerja oleh buruh yang bertindak sebagai agen bebas.
Adapun ciri kapitalisme modern menurut Meghnad Desai (guru besar London School of Economics) adalah: 1. Produk untuk dijual, bukan untuk dikonsumsi sendiri, 2. Pasar, tempat tenaga kerja dibeli dan dijual dengan alat tukar upah melalui hubungan kontrak, 3. Uang, yang digunakan dalam tukar menukar, 4. Proses produksi atau proses kerja, 5. Pengambilan keputusan di tangan pemilik modal, 6. Persaingan bebas di antara pemilik kapital.

2. Sekolah dan Perusahaan
Dengan bertahan dan semakin berkembangnya kapitalisme, ternyata kapitalisme tidak hanya berkembang di dunia industri dan perusahaan, melainkan perkembangan kapitalisme juga sudah mulai berkembang di dunia pendidikan.
Masuk dan berkembangnya kapitalisme di dunia pendidikan ditandai dengan semakin maraknya pembangunan sekolah-sekolah swasta dengan memberlakukan perilaku pasar bebas dan dunia bisnis di dunia pendidikan (sekolah).
Maraknya pasar bebas didunia pendidikan, dilandasi pada suatu ideologi yang berangkat dari kepercayaan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas”.[5] Kompetisi Pasar Bebas merupakan suatu kompetisi yang agresif akibat dari terjaganya mekanisme pasar bebas. Kesemua keyakinan ini berangkat dari suatu pendirian bahwa “pasar bebas” itu efisien, dan pasar bebas diyakini sebagai cara yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam yang langka, demi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Pasar bebas dan bisnis yang berlaku di sekolah-sekolah semakin berkembang pesat, dengan banyaknya program baru yang semakin menekan dan melumpuhkan orang tua sebagai wali murid dalam membiayai sekolah anaknya.
Program sekolah itu berupa seperti adanya pengadaan kaos olah raga, study tour, daftar ulang, perubahan warna baju seragam sekolah setiap tahunnya, gantinya terbitan buku pelajaran setiap semester dan lain sebagainya, yang semua itu dikoordinir oleh pihak sekolah.[6]
Program tersebut dilandasi atas alasan untuk meningkatkan kualitas anak didik dan untuk mempermudah jalannya sitem pendidikan di sekolah, tapi dibalik itu semua terdapat adanya dunia bisnis, dimana seorang guru dan lembaga berfungsi sebagai birokrasi perusahaan dengan mendapatkan keuntungan yang besar.
Semua praktisi bisnis di sekolah itu berjalan lancar karena kolusi antara pengusaha (industri wisata, penerbitan, tekstil, asuransi, sepatu dan lain sebaginya) dengan penguasa maupun pelaksana pendidikan,[7] yang mana pastinya mereka mendapat keuntungan yang sangat besar dari praktisi bisnis tersebut.
 Lain halnya dengan masyarakat yang menjadi korban, dengan adanya program-program tersebut, mereka semakin terlumpuhkan dan tertekan dengan biaya sekolah. Sehingga mereka selalu dihantui rasa takut dengan biaya sekolah yang mahal dan keputus-asaan dalam menuntut ilmu.
Dengan adanya buku pelajaran yang selalu berganti setiap tahunnya atau terkadang setiap semester, maka buku-buku tersebut tidak dapat diwariskan kepada adiknya atau tetangga yang membutuhkan, begitupula dengan seragam sekolah. Padahal jika tidak ada beberapa program tersebut, para orang tua dapat menghemat biaya pendidikan, dan dapat menyekolahkan anaknya sampai selesai sehingga akan semakin berkurang data anak yang putus sekolah (drop-out).
Dari beberapa program sekolah diatas, betapa program sekolah telah turut menyumbang terjadinya proses “Pemiskinan” dan “Pembodohan” di masyarakat, karena semakin banyaknya anak didik yang tidak dapat menyelesaikan program study mereka sampai selesai, dikarenakan biaya sekolah yang mahal dan hanya dapat dijangkau oleh mereka yang ekonominya terjangkau.

3. Faktor Penyebab Kapitalisme dan Komersialisme Pendidikan
a. Kesalahan Paradigma dan pendekatan
Berkembangnya kapitalisme pendidikan di sekolah adalah dampak dari zaman globalisasi dan juga dampak dari kesalahan Paradigma dan Pendekatan. Kesalahan ini merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda dan oleh pemerintah orde baru sampai kini masih dilanjutkan tanpa sadar.
Kesalahan paradigma tersebut adalah menanamkan paradima “kompetisi” dalam pendidikan, dan bukan paradigma “keadilan sosial” yang seharusnya ditanamkan pada masyarakat. Sekilas paradigma itu adalah wajar-wajar saja, tetapi begitu diteliti lebih jeli, kompetisi dalam orde baru adalah kamuflase dari mempertahankan status-quo ekonomi-sosial yang sangat timpang. [8]
Sebagai contohnya adalah pembedaan alokasi subsidi yang bias pada sekolah-sekolah negri top dan di ibu kota yang menganaktirikan sekolah-sekolah negri bawahan dan jauh dari pusat, atau di kabupaten pelosok tanah air.
Contoh lain adalah pembedaan perlakuan antara sekolah-sekolah yang dikelola oleh Negara dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh swasta. Biasanya yang dikelola oleh Negara adalah anak emas dan yang dikelola oleh swasta adalah anak tiri. Pembedaan ini adalah pembedaan sistematis, artinya untuk maksud tujuan politik ekonomi tertentu.
Paradigma “kompetisi” lebih mengimplikasikan pendekatan kapitalis liberalis-di Indonesia ditambah dengan ajektif “feodal”-“sumber daya manusia”.[9]. Pendekatan “sumber daya manusia” mengandaikan investasi dalam bentuk uang maupun tenaga kerja, dimana manusia disama-ratakan dengan barang. Pendekatan ini dibesarkan oleh pemikir ekonom klasik pengenai “pertumbuhan ekonomi”.

b. Beratnya tanggungan dan seriusnya ketimpangan ekonomi sosial bangsa
Dari kesalahan paradigma dan pendekatan yang menyebabkan adanya pembedaan dan perhatian pemerintah dalam hal alokasi subsidi antara sekolah negeri dan sekolah swasta, membuat sekolah-sekolah swasta kekurangan dana dalam pengembangan pendidikan, khususnya menghadapi zaman globalisasi ini.
Maka dalam melengkapi fasilitas sekolah agar tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan, dan untuk menggaji para guru, pihak sekolah menarik uang SPP yang tidak sedikit dan lebih mahal dari sekolah negeri, selain itu juga masih ada dana potongan yang dibebankan kepada orang tua murid, seperti biaya ujian, uang rapor, uang ijazah, perayaan hari besar, uang UKS, OSIS, dan lain sebagainya.[10]
Dengan beratnya tanggungan ekonomi sosial pendidikan ini mengakibatkan ketimpangan ekonomi sosial bagi guru/dosen di satu pihak, tetapi juga bagi peserta didik dan keluarganya di lain pihak, sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat penyelesaian atau pelulusan peserta didik, yakni sepertiga dari jumlah pendaftar.
Dengan kata lain drop-out atau putus sekolah sebelum waktunya merupakan dampak dari beratnya tanggungan dan ketimpangan ekonomi sosial, sehingga semakin banyak anak didik yang tidak mendapatkan hak-hak mereka dalam dunia pendidikan.

4. Tata Pendidikan Berkeadilan Sosial
Pendidikan adalah kebutuhan dasar (basic need) hidup manusia.[11] Pendidikan juga merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia, tapi kenyataan yang terjadi pendidikan dan pengajaran di dalam paradigma neokolonial Indonesia selama ini hanya diajukan demi fungsinya terhadap kebutuhan penguasa, tidak demi masyarakat.
Maka sudah saatnya kita merubah paradigma pendidikan yang selama ini keliru. Paradigma pendidikan yang seharusnya ditanamkan adalah paradigma “keadilan sosial”, yang direkomendasi oleh Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 27. yang pertama menjadikan “ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang kedua menjamin “hak memperoleh pendidikan untuk semua”.[12]
Paradigma “kedilan sosial” menuntut dijadikannya dasar membangun sistem persekolahan maupun pendidikan masyarakat luas usaha-usaha secara preferensial untuk mensubsidi peserta didik yang tertinggal secara ekonomi sosial. Subsidi tidak hanya berupa materi termasuk uang, tetapi berupa juga pendampingan ekstra. Maksudnya, agar beban ekonomi sosial tidak menjadi kendala untuk mengembangkan kepandaian otak dan keluhuran watak.
Dalam paradigma “Kompetisi”, menggunakan pendekatan “sumber daya manusia”. Lain halnya dengan paradigma “kedilan sosial”, menggunakan pendekatan “pemberdayaan manusia”. Pendekatan ini menempatkan manusia sebagai manusia. Manusia tidak disejajarkan dengan barang. Manusia merupakan makhluk otonom yang merdeka, mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan dan direalisasikan.
Mekanisme paradigma “keadilan sosial” adalah “penetasan kemakmuran”. Argumentasinya asal ada pertumbuhan, perataan, atau distribusi berjalan dengan sendirinya. Pendidikan yang berkeadilan ini akan terlaksana bilamana kita semua serius mentransformasikan pendidikan menuju ke pendidikan yang menempatkan  manusia sebagai manusia.[13]
Jika paradigma ini terlaksana, maka tidak akan ada lagi beratnya tanggungan dalam dunia pendidikan  dan ketimpangan ekonomi sosial bangsa. Dengan paradigma “keadilan sosial” semua anak didik akan mendapatkan haknya dalam menuntut ilmu, dan kemungkinan besar akan terjadinya pengurangan dalam jumlah anak didik yang putus sekolah.
Selain itu para pendidik atau guru juga akan mendapatkan kesejahteraan yang semestinya dan yang memang sudah seharusnya mereka terima sebagai para pendidik. Sebagaimana pernyataan KH. Syukri Zarkasyi bahwa agar pendidikan dapat berjalan secara efektif, efisien dan tetap survive khususnya di zaman globalisasi ini maka kesejahteraan guru harus sangat diperhatikan.[14] Mengingat mereka adalah orang-orang yang mencerdaskan kaderisasi bangsa.
Dengan adanya paradigma keadilan dalam dunia pendidikan, baik dalam hal subsidi antara sekolah negeri dan sekolah swasta, diharapkan tidak ada lagi kesan “sekolah mahal” dan sekolah hanya dapat dijangkau oleh mereka yang berekonomi tinggi, tapi semua manusia dapat mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan.

C. Penutup
Pendidikan adalah wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan ketrampilan kerja. Pendidikan juga diyakini sebagai suatu media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, dan juga wahana untuk menciptakan keadilan sosial.
Akan tetapi dalam praktik pendidikan selama ini bukannya mencerdaskan, malah sebaliknya, pendidikan dijadikan arena pembodohan saja, dan sumbangan dalam program meningkatkan pemiskinan masyarakat. Lebih tepat lagi pendidikan justru menjadi belenggu tersendiri bagi masyarakat.
Semua hal tersebut karena paradigma yang salah selama orde baru, yaitu paradigma “kompetisi” dengan pendekatan “Sumber Daya Manusia”. Dalam paradigma ini, dunia pendidikan lebih mempertahankan  status-quo ekonomi-sosial yang sangat timpang.
Paradigma “Kompetisi” mengakibatkan mahalnya sekolah, karena ketidak adilan pemerintah dalam pemberian subsidi antara sekolah negeri dan sekolah swasta, sehingga menyebabkan rendahnya gaji guru.
Maka tidak heran ketika kapitalisme berkembang di dunia pendidikan. Para pelaku pendidikan juga turut memiliki otak komersil dan turut mengembangkan pasar bebas di sekolah mereka. Hal ini mereka lakukan demi menjaga mutu sekolah dan mempertahankan biaya hidup mereka, karena berlakunya pasar bebas di dunia pendidikan membawa keuntungan yang besar bagi mereka.
Maka paradigma yang seharusnya ditanamkan adalah “keadilan sosial”, dengan harapan agar tercapainya tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Dengan paradigma keadilan sosial diharapkan akan adanya pemerataan dalam dunia pendidikan, sehingga semua anak bisa mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan. Dengan demikian visi sosial dalam pendidikan akan terkedepankan, dan bukan visi ekonominya.


Daftar Pustaka

Wahono, Francis, Kapitalisme Pendidikan Antara kompetisi dan keadilan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, Yogyakarta: Galang Press, 2004.
Yunus, Firdaus M, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2005.
Irawan, Ade, Mendagangkan Sekolah, Jakarta: Yayasan Tifa, 2004.
Redwood, John, terj. Kapitalisme Rakyat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
Topatimasang, Roem, Sekolah itu Candu, Yogyakarta: Pustaka Peljar, 2003.
Soros, George, terj. Krisis Kapitalisme Global, Yogyakarta: Penerbit Kalam, 2001.
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: LKis, 2007.
Armando, Nina M., Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.



[1] Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hal 1.
[2] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan keadilan, (Yogyakarta: Insist Press, 2001), hal 2.
[3] Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam,  (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal 52.
[4] Ibid., 53.
[5] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 2.
[6] Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hal 229.
[7] Ibid., 250.
[8]Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 86.
[9] Ibid., 89.
[10] Ade Irawan, dkk, Mendagangkan sekolah, (Jakarta: Yayasan Tifa, 2004), hal 96.
[11] Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hal 7.
[12] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 87.
[13] Ibid., 107.
[14] Syukri Zarkasyi,” Pengembangan Pendidikan Pondok Pesantren di Era Otonomi Pendidikan: Pengalaman Pondok Modern Darusslam Gontor”, (disertasi: UIN Syarif Hidyatullah, 2005), 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar